ranjana.id – Menteri Pertanian (Mentan) telah resmi menyurati Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI untuk mengusulkan pelaksanaan Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) pengendalian impor komoditas ubi kayu (singkong) dan produk turunannya.
Melalui surat bernomor B-191/PI.200/M/05/2025 tertanggal 14 Mei 2025, Mentan menyampaikan bahwa perlu adanya perlindungan untuk para petani komoditas ubi kayu dalam negeri. Menurut Mentan, erlu adanya langkah strategis dalam bentuk pengendalian impor, termasuk opsi penetapan larangan terbatas terhadap komoditas ubi kayu dan beberapa bentuk produk turunannya untuk menjaga stabilitas harga di tingkat produsen.
Menanggapi hal tersebut, Mardoni, Koordinator Aliansi Masyarakat Peduli Petani Singkong Indonesia, melalui sambungan telepon (19/ mengatakan seharusnya Mentan tak hanya sekadar berusaha membatasi impor singkong dan turunannya karena jika melihat kenyataan di lapangan ternyata impor dapat dihentikan.
“Singkong, bahan baku tapioka di Indonesia itu lebih dari cukup, kenapa harus impor. Biarkan petani singkong Indonesia punya kesempatan sejahtera.” ujar Mardoni.
Menurutnya, saat ini, harga singkong dilapangan, yang diterima petani taklebih dari Rp. 690 per kilogram karena ada komponen biaya transportasi, kuli dan operasional.
“Kalau mau jujur, sisa yang sampai ke tangan petani itu hanya Rp. 350 per kilogram karena harus pulangkan modal selama tanam. Nunggunya satu tahun itu petani untuk dapat segitu.” jelasnya.
“Kalau petani sejahtera karena harga singkong bagus, itu untuk biaya pendidikan anak dan biaya kesehatan keluarga, bukan untuk hidup mewah”, tambah Mardoni.
Ia berharap Mentan tak hanya sekadar membatasi impor karena menurutnya hasil panen singkong di Indonesia mampu mencukupi kebutuhan industri tapioka nasional.
“Kalau ingin petani singkong Indonesia sejahtera seperti cita-cita UUD 1945 dan Pancasila, hentikan impor singkong dan turunannya”, ujar Mardoni.
Menurutnya, Kementan seharusnya turun langsung ke lapangan untuk melihat kondisi yang dirasakan petani dan ulah industri tapioka di Lampung.
“Ekonomi tujuh Kabupaten di Lampung itu sekarang lesu karena permasalahan harga singkong yang tidak pernah selesai dan menurunnya daya beli petani”, terang Mardoni.
Terkait dengan Instruksi Gubernur Lampung soal kadar aci, Mardoni menjelaskan bahwa alat ukur kadar aci yang selama ini digunakan industri tapioka di Lampung tidak kredibel karena tidak mengacu pada Standar Industri Nasional (SNI).
“Alat ukur kadar aci itu tidak jelas walapun pabrik berdalih sudah mengkalibrasinya. Nyata tidak ada izin Kementan atau Perindag untuk penggunaan alat itu”, tambahnya.
Menurutnya, alat ukur kadar aci yang selama ini digunakan industri tapioka selalu merugikan petani dan dicurigai sebagai alat untuk mempermainkan harga singkong.
“Alat itu untuk mengelabui petani singkong saja, karena tidak jelas yang diukur kadar air atau kadar aci”, ungkap Mardoni.
“Kami meminta Polda untuk segera bergerak menertibkan dan menarik penggunaan alat ukur kadar aci dari pabrik. Kalau tidak, petani singkong akan ramai-ramai ke Polda Lampung untuk menuntut alat itu ditarik.” tutupnya. (Redaksi)