Bandar Lampung, ranjana.id – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Lampung, menilai banjir yang terjadi kawasan Panjang, Bandar Lampung bukanlah bencana alam biasa. Banjir yang kembali terjadi di Kota Bandar Lampung dinilai akibat dari kebijakan tata ruang yang buruk dan krisis pengelolaan lingkungan yang terus dibiarkan.
WALHI Lampung mencatat, sepuluh tahun terakhir, lebih dari 420 hektar lahan resapan di Bandar Lampung dikonversi menjadi permukiman dan kawasan komersial. Ini merupakan pelanggaran UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang mewajibkan minimal 30 persen dari total luas kota dijadikan ruang terbuka hijau (RTH).
Irfan Tri Musri, Direktur WALHI Lampung, saat dihubungi melalui pesan whatsapp (23/4/2025), menjelaskan, banjir yang terjadi bukan semata disebabkan curah hujan yang tinggi. Banjir yang berulang terjadi menunjukan gagalnya tata kelola lingkungan dan Kota Bandar Lampung telah kehilangan fungsi ekologis yang vital.
“Sistem drainase di Kota Bandar Lampung yang dibangun 20–30 tahun lalu dan 70 persenya tidak lagi mampu menampung debit air hujan, terutama di tengah maraknya betonisasi dan menyusutnya daya serap tanah”, jelas Irfan.
Menurutnya, penanganan banjir di Bandar Lampung tidak dapat dilakukan secara parsial, harus sistematis dan berkelanjutan, mulai dari pemulihan resapan, drainase, sungai, hingga pengelolaan sampah.
Ia juga menyoroti adanya standar ganda dalam penertiban bangunan di bantaran sungai, dimana Pemerintah Kota (Pemkot) Bandar Lampung hanya berani membongkar bangunan milik warga, tapi membiarkan berdiri bangunan milik pengusaha.
“Contohnya Hotel Horison. Hotel Horison yang berdiri di atas sungai. Berani nggak Pemkot membongkar bangunan milik pengusaha? Jangan sampai tajam ke bawah, tumpul ke atas,” singgung Irfan.
Untuk menangani masalah banjir yang berulang kali terjadi, WALHI Lampung mendesak Pemkot Bandar Lampung untuk mengevaluasi dan menyusun ulang rencana tata ruang wilayah dan mereformasi seluruh kebijakan terkait lingkungan hidup. (Redaksi)