Unjuk Rasa Pati Bukti Keluhan Masyarakat Dapat Berubah Jadi Kemarahan Massa

Dodi Faedlulloh, Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) Dan Akademisi Administrasi Negara Universitas Lampung (Foto : Dok. Pribadi)

ranjana.id Unjuk rasa masyarakat Pati (13/8/2025) menjadi menarik karena kemarahan rakyat benar-benar menemukan bentuknya. Warga tidak berhenti pada level mengeluh tapi mereka keluar dari rumah, berkumpul dan mengorganisir diri.

Unjuk rasa protes masyarakat Pati lahir dengan tuntutan tidak hanya pembatalan atau revisi kenaikan PBB tapi juga menuntut Bupati Sudewo untuk mundur.

Kejadian unjuk rasa di Pati merupakan salah satu potret realitas sosial di Indonesia yang diperbincangkan banyak orang dan kalangan.

Dodi Faedlulloh, Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) Lampung, mengatakan, dalam konteks gerakan sosial, Pati menunjukkan bahwa kebijakan yang dianggap merampas daya hidup masyarakat bisa menjadi katalis untuk membangun kemarahan kolektif.

“Kemarahan kolektif ini penting menjadi potensi energi sosial-politik yang jika dikelola dengan baik dapat mendorong perubahan kebijakan. Keberhasilan warga Pati mengonsolidasikan penolakan menunjukkan bahwa rakyat masih memiliki daya tawar ketika mereka bersatu dan bersuara secara terorganisir.” jelas Dodi (15/8/2025).

Dosen dan Peneliti Program Studi Administrasi Negara Unila ini juga menjelaskan, unjuk rasa Pati mengingatkan kita bahwa di tengah apatisme politik yang kian meluas, masih ada ruang bagi gerakan rakyat untuk menekan penguasa daerah agar lebih transparan, adil, dan peka terhadap kemampuan ekonomi warganya.

“Oleh karenanya kita harus dukung penuh perjuangan rakyat Pati”, tambahnya

“Sekarang coba mulai dipetakan, daerah mana saja yang tahun ini menaikkan pajak, dan berapa persentase kenaikannya. Misalnya, dari informasi media, di Cianjur, PBB dilaporkan naik hingga 1000%. Nah, kenaikan PBB di Pati yang mencapai 250% berhasil mengorganisir kemarahan warga. Harusnya di tempat lain pun juga serupa. Pati bisa menjadi inspirasi perlawanan.” papar Dodi.

Ia kemudian menjelaskan, negara tak boleh hanya melihat rakyat miskin saat terjadi “kerusuhan” saja, kasus Pati seharusnya menjadi peringatan bagi pemerintah daerah di seluruh Indonesia untuk lebih mendengar pendapat dan kritik masyarakat.

“Kenaikan pajak yang tidak disertai argumentasi transparan, mekanisme partisipasi warga, dan kajian kemampuan membayar akan memicu perlawanan. Dan ketika rakyat sudah merasa dicekik, mereka akan menemukan cara untuk melawan, sebagaimana yang terjadi di Pati.” jelas Dodi.

“Dalam logika politik, ini bukan sekadar protes fiskal, tetapi sinyal bahwa legitimasi kekuasaan daerah bisa runtuh jika kebijakan publik terus mengabaikan keadilan sosial.” pungkasnya.

Diketahui, unjuk rasa ratusan ribu masyarakat Pati di depan Kantor Bupati pada Rabu, 13/8/2025, dipicu kenaikan pajak PBB sebesar 250 persen. Massa unjuk rasa juga menuntut Bupati Pati, Sudewo, mundur dari jabatannya.

Imbas gelombang unjuk rasa ini mendorong delapan fraksi di DPRD Kabupaten Pati sepakat menggelar hak angket terkait kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2). DPRD juga sepakat membentuk pansus pemakzukan Bupati Pati. (Redaksi)