ranjana.id – Lagu “Genjer-Genjer” adalah lagu rakyat yang berasal dari daerah Banyuwangi, Jawa Timur, Indonesia. Lagu ini diciptakan oleh seniman lokal bernama Muhammad Arief pada tahun 1940-an. Liriknya menggambarkan kehidupan rakyat kecil yang memanfaatkan sayur genjer (Limnocharis flava), sejenis tanaman gulma yang sering dikonsumsi oleh masyarakat pedesaan saat sulit pangan.
Lagu ini awalnya merupakan ekspresi budaya masyarakat Banyuwangi yang sederhana, menceritakan tentang kesulitan hidup di masa penjajahan dan bagaimana rakyat bertahan dengan memakan genjer, yang biasanya dianggap makanan orang miskin.
Popularitas di Masa PKI dan Orde Lama
Pada era 1950-an hingga awal 1960-an, “Genjer-Genjer” menjadi populer di kalangan organisasi massa yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), seperti Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dan Barisan Tani Indonesia (BTI). Lagu ini dianggap mewakili semangat perjuangan kelas bawah melawan penindasan, sehingga sering dinyanyikan dalam acara-acara PKI.
Karena asosiasinya dengan PKI, setelah peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965, lagu ini dilarang oleh pemerintahan Orde Baru. Lagu “Genjer-Genjer” dianggap sebagai “lagu PKI” dan dikaitkan dengan propaganda komunis, meskipun sebenarnya lagu ini hanyalah lagu rakyat yang tidak memiliki pesan ideologis secara langsung.
Kontroversi dan Mitos Kelam
Salah satu kontroversi terbesar terkait lagu ini adalah anggapan bahwa “Genjer-Genjer” dinyanyikan oleh anggota Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) saat menyiksa para jenderal dalam peristiwa G30S. Narasi ini disebarkan oleh propaganda Orde Baru melalui film “Pengkhianatan G30S/PKI” (1984) yang disutradarai oleh Arifin C. Noer.
Faktanya, tidak ada bukti sejarah yang valid bahwa lagu ini dinyanyikan saat pembunuhan para jenderal. Banyak sejarawan, seperti John Roosa dalam bukunya “Dalih Pembunuhan Massal” (2006), menyatakan bahwa narasi tersebut adalah bagian dari upaya Orde Baru untuk mendemonisasi PKI dan segala hal yang terkait dengannya.
Revitalisasi di Era Reformasi
Setelah jatuhnya Orde Baru pada 1998, lagu “Genjer-Genjer” perlahan mulai dihidupkan kembali sebagai bagian dari warisan budaya Banyuwangi. Beberapa kelompok musik, seperti Swing dan Tulus, pernah membawakan lagu ini dengan aransemen baru.
Meski demikian, stigma negatif masih melekat pada lagu ini di kalangan tertentu, terutama bagi mereka yang masih percaya pada narasi Orde Baru. Sementara itu, generasi muda mulai melihat “Genjer-Genjer” sebagai simbol perlawanan rakyat kecil dan ekspresi seni yang terpolitisasi.
“Genjer-Genjer” adalah lagu rakyat yang terjebak dalam pusaran politik Indonesia. Dari lagu tentang penderitaan rakyat jelata, ia dijadikan alat propaganda dan kemudian dilarang selama puluhan tahun. Kini, lagu ini tetap menjadi bagian dari sejarah musik Indonesia yang penuh dengan kontroversi dan salah tafsir.
Apakah “Genjer-Genjer” benar-benar lagu PKI? Jawabannya tidak—ia hanyalah lagu rakyat yang kebetulan dipolitisasi oleh kekuatan sejarah. (Redaksi)