ranjana.id – Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (PERMAHI) menggelar diskusi publik (3/5/2025) yang melibatkan Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dirkrimsus) Polda Lampung dan akademisi Universitas Bandar Lampung (UBL). Diskusi ini mengungkap persoalan serius terkait penyelewengan dana desa yang masih marak terjadi di Provinsi Lampung.
Dari paparan narasumber, terungkap bahwa bantuan tak tepat sasaran dan lemahnya tata kelola Dana Desa. Salah satu akar permasalahan yang terungkap adalah penyimpangan dalam penyaluran bantuan pangan beras yang dalam banyak kasus tidak disalurkan kepada masyarakat sebagaimana mestinya. Proses hukum sedang berlangsung, termasuk penyidikan aktif oleh Polres Lampung Tengah terhadap kasus-kasus di wilayah tersebut dan telah diambilalih Polda Lampung.
Menurut Dirkrimsus Polda Lampung, penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi dana desa melibatkan berbagai instansi, sehingga prosesnya tidak bisa disamakan dengan penanganan pidana biasa. Salah satu kasus menonjol melibatkan 1.067 saksi yang telah diperiksa terkait penyelewengan dana desa di Desa Bandar Agung.
Tantangan dalam Struktur dan Sumber Daya. Polda Lampung menyatakan telah melakukan pengawasan aktif melalui Babinkamtibmas di tingkat desa dan unit Tipikor di tingkat Polres. Namun, mereka mengakui terdapat sejumlah faktor utama yang mendorong kepala desa melakukan korupsi, antara lain praktik money politic saat pencalonan kepala desa yang menciptakan efek domino pasca terpilih, rendahnya tingkat pendidikan/pemahaman pengelolaan keuangan desa, dan tidak transparannya tahapan pengelolaan Dana Desa.
Selain itu, penolakan terhadap pengawasan oleh aparat hukum maupun LSM, ketiadaan mekanisme check and balance yang sehat, dan pengangkatan perangkat desa yang tidak berbasis kompetensi, membuat pengelolaan Dana Desa banyak bermasalah.
“Realita di Lapangan di Provinsi Lampung memiliki 2.654 desa, yang masing-masing menerima dana desa sekitar Rp 1 miliar per tahun. Sayangnya, banyak aparat desa tidak memahami Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, bahkan tidak mengetahui tugas pokok dan fungsinya”, ucap Zainudin, akademisi UBL.
“Karena nilai penyimpangannya di bawah satu miliar rupiah, penanganan kasus dana desa tidak menjadi domain KPK, melainkan dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan dan aparat penegak hukum lainnya yang memang harus di kawal contohnya PERMAHI” lanjut Zainuddin.
Diskusi juga menyoroti minimnya SDM kejaksaan yang tidak mampu turun langsung ke desa, serta Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang kerap tidak memahami tugasnya atau terlalu dekat dengan kepala desa.
“Program seperti Jaksa Garda Desa dinilai perlu dievaluasi mengingat keterbatasan kapasitas di lapangan. Bahkan, tidak semua Babinkamtibmas dan Babinsa memahami secara utuh tugas dan wewenangnya dalam konteks pengawasan Dana Desa.” ucap Tri Rahmadona, Ketua PERMAHI.
Dirkrimsus Polda Lampung dan akademisi UBL sepakat bahwa solusi utamanya adalah pengawasan sejak tahap awal penyaluran dana, edukasi dan pencegahan berbasis pemahaman hukum dan tata kelola keuangan desa, serta kolaborasi lintas sektor antara masyarakat, aparat, akademisi, dan mahasiswa hukum (PERMAHI).
Sebagai bagian dari masyarakat hukum, PERMAHI juga Berkomitmen untuk membuat skala prioritas intervensi di desa atau kecamatan tertentu melalui pemberian solusi regulatif atau advokasi kepada aparat desa, koordinasi dengan Inspektorat Provinsi dan Gubernur Lampung, serta membina desa-desa sampel secara bertahap bersama akademisi, sebagai model kolaboratif antara masyarakat sipil dan pemerintah lanjut tri Rahmadona.
“Penyelewengan dana desa bukan hanya persoalan hukum, melainkan masalah struktural dan sistemik. Kolaborasi lintas elemen, termasuk peran aktif mahasiswa hukum, menjadi salah satu kunci penting untuk menciptakan pengelolaan dana desa yang transparan, akuntabel, dan berpihak pada rakyat.” tutup Tri Rahmadona. (*)