ranjana.id – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) resmi memungut pajak kepada pedagang online di platform market place seperti Lazada, Tokopedia, hinga Shopee.
Ketentuan pajak ini termaktub dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-12/PJ/2025 yang terbit sejak 22 Mei 2025 dan berlaku saat diundangkan.
Pedagang online yang kena pajak ini adalah pedagang dengan nilai transaksi di atas Rp600 juta per tahun atau Rp50 juta per bulan, serta pedagang dengan jumlah traffic atau pengakses toko melebihi 12 ribu dalam satu tahun atau 1.000 dalam satu bulan.
Kebijakan pajak kepada pedagang online ini tentu menuai beragam penilaian. Salah satunya penilaian dari pengamat ekonomi Lampung.
Saring Suhendro, pengamat ekonomi Lampung, menilai niat pemerintah mengenakan pajak kepada pedagang online itu sebenarnya wajar mengingat transaksi perdagangan di market place sekarang yang tinggi dan punya peluang ikut berkontribusi pada penerimaan negara.
“Tapi kita juga nggak bisa mengabaikan kenyataan di lapangan, mayoritas pelaku usaha yang aktif di marketplace saat ini adalah UMKM”, imbuh Saring Suhendro pada Rabu (2/7/2025).
Menurutnya, berdasarkan data dari Kementerian Koperasi dan UKM, hingga pertengahan 2024, ada sekitar 25,5 juta UMKM yang sudah terhubung ke ekosistem digital.
“Artinya, mereka mendominasi aktivitas jual beli di platform seperti Tokopedia, Shopee, dan Lazada. Tapi sebagian besar dari mereka masih dalam tahap awal digitalisasi. Banyak yang belum punya pembukuan yang rapi, belum familiar dengan pelaporan pajak, dan mungkin juga belum memiliki NPWP.” kata Saring Suhendro.
Ia menambahkan, ada masalah lain dalam ketentuan pajak pedagang online tersebut, yaitu indikator pengunjung toko online sebagai dasar penarikan pajak. Hal ini dinilai bermasalah secara logika ekonomi, karena dalam realitas e-commerce, tingginya trafick belum tentu berarti tingginya omzet.
“Rasio konversi penjualan di marketplace itu rendah, menurut data industri global rata-rata cuma 1,4%–3%. Jadi bisa saja sebuah toko dikunjungi 12 ribu orang, tapi yang benar-benar beli mungkin hanya 150 orang. Kalau ini tetap jadi tolok ukur kewajiban pajak, ya jelas tidak proporsional.” jelasnya.
“Dampak ke harga jual juga perlu diperhitungkan. Kalau PPN langsung dipotong oleh marketplace, pelapak pasti akan menyesuaikan harga untuk menutup margin. Sementara di sisi lain, mereka harus bersaing dengan barang impor yang sering kali masuk tanpa perlakuan fiskal yang setara. UMKM lokal bisa kalah saing di rumahnya sendiri.” tambahnya.
Menurut Saring Suhendro, pengenaan pajak di sektor digital memang penting, tetapi pendekatannya harus bijak, harus ada edukasi, ada segmentasi yang membedakan mana pelaku besar dan mana yang masih merintis.
“Tentu saja harus ada insentif bagi UMKM yang mau patuh. Tanpa itu semua, niat baik ini malah bisa menghambat pertumbuhan ekonomi digital yang sedang berkembang dari bawah.” tutup pengamat ekonomi Lampung itu. (Redaksi)