Opini  

Pendidikan Kita Masih Terjebak di Masa Lalu

ranjana.id Kita hidup di abad ke-21—era teknologi, kecerdasan buatan, dan revolusi digital. Namun, ruang kelas kita masih terasa seperti museum abad ke-19.
Ironisnya, metode pembelajaran masih berjiwa abad ke-20, sedangkan peserta didik kita adalah manusia abad ke-21. Ketimpangan ini bukan sekadar soal gaya mengajar, tapi tentang cara pandang terhadap makna pendidikan itu sendiri.

Pola Lama di Dunia yang Baru

Dalam banyak ruang kelas, guru masih menjadi pusat dari segala sumber ilmu. Sementara murid, duduk berbaris, mencatat, dan mengikuti alur tanpa banyak ruang untuk bertanya.

Model seperti ini mungkin efektif di masa lampau—ketika dunia bergerak lambat dan pengetahuan hanya bisa diperoleh lewat buku tebal atau papan tulis kapur.
Namun hari ini, anak-anak kita tumbuh di tengah banjir informasi. Dalam satu ketikan, mereka bisa mengakses ribuan data, ide, dan gagasan dari seluruh dunia.

Sir Ken Robinson, pakar pendidikan asal Inggris, pernah berkata, “Sekolah saat ini membunuh kreativitas.”

Kata-kata itu mungkin terdengar keras, tapi realistis. Sistem pendidikan kita masih menilai murid dari kemampuan menjawab soal, bukan dari kemampuan berpikir. Padahal, di abad ke-21, kreativitas adalah mata uang utama untuk bertahan.

Nanang Wiwit Sinudarsono, S.Pd., Gr (Foto : Dok Pribadi)

Metode Abad ke-20, Murid Abad ke-21

Metode ceramah dan hafalan masih menjadi pilar utama pembelajaran. Padahal, dunia kerja dan kehidupan kini menuntut kolaborasi, komunikasi, berpikir kritis, dan kreativitas—empat keterampilan inti yang dikenal dengan istilah 4C (Critical Thinking, Creativity, Collaboration, Communication).

Sementara itu, Paulo Freire, tokoh pendidikan asal Brasil, dalam bukunya Pedagogy of the Oppressed, menyebut sistem seperti ini sebagai “banking education” — di mana guru hanya “menyetor” pengetahuan ke kepala murid tanpa memberi kesempatan berpikir dan bereksperimen. “Pendidikan sejati adalah pendidikan yang membebaskan, bukan yang menindas,” tulis Freire.

Jika murid hanya dituntut menjadi peniru, bagaimana mereka akan tumbuh menjadi penemu?
Jika guru hanya mentransfer ilmu, kapan akan terjadi transformasi?

Pola Posisi Belajar yang Usang

Lebih jauh, posisi belajar kita pun masih hierarkis: guru di depan, murid di bawah.
Guru dianggap pusat kebenaran, murid dianggap penerima pasif.

Padahal, Ki Hajar Dewantara sudah jauh-jauh hari mengingatkan, “Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat menuntun tumbuhnya kodrat itu.”

Artinya, tugas guru bukan menjejali kepala murid dengan teori, tetapi menuntun mereka menemukan makna dari apa yang dipelajari.
Pendidikan seharusnya menjadi ruang kolaborasi, bukan dominasi.

Sayangnya, hingga kini masih banyak sekolah yang menjadikan disiplin dan kepatuhan sebagai ukuran utama “murid baik”.
Padahal, di dunia nyata, keberanian untuk berbeda dan berpikir out of the box justru lebih dibutuhkan.

Teknologi Bukan Solusi Jika Paradigmanya Masih Sama

Banyak sekolah hari ini sudah “modern” secara alat—menggunakan smartboard, learning apps, atau e-learning. Tapi jika isinya masih satu arah, tetap saja itu metode abad ke-20 dengan kemasan digital.

Albert Einstein pernah mengingatkan, “Pendidikan bukanlah pembelajaran fakta, tapi latihan berpikir bagi pikiran.”

Artinya, teknologi hanya alat bantu. Yang harus berubah adalah cara berpikir pendidik dan sistem yang menaunginya.
Kita perlu melatih murid untuk mencari, menganalisis, dan menilai informasi secara kritis—bukan sekadar menerima dan mengulang.

Waktunya Revolusi Paradigma

Kita tidak sedang kekurangan sekolah, guru, atau kurikulum. Yang kita butuhkan adalah keberanian untuk beranjak dari masa lalu.

Sudah saatnya pendidikan bergeser dari:

  • Dari pengajaran ke pembelajaran
  • Dari hafalan ke pemahaman
  • Dari keseragaman ke keberagaman potensi
  • Dari guru sebagai pusat ke murid sebagai subjek aktif

Seperti kata John Dewey, filsuf pendidikan Amerika, “Jika kita mengajarkan anak-anak hari ini seperti kita mengajar mereka kemarin, kita mencuri masa depan mereka.”

Penutup: Pendidikan untuk Masa Depan, Bukan Masa Lalu

Generasi hari ini adalah generasi digital yang berpikir cepat, visual, dan kritis. Mereka butuh ruang belajar yang interaktif, kontekstual, dan relevan.
Sekolah seharusnya menjadi tempat yang menumbuhkan rasa ingin tahu, bukan memadamkannya.

Kita tidak bisa menyiapkan anak-anak untuk masa depan dengan alat dan cara berpikir masa lalu.
Pendidikan sejati adalah tentang menyalakan pikiran, bukan mengisi kepala.

Dan itu hanya bisa terjadi ketika kita berani meninggalkan cara belajar abad ke-19, metode abad ke-20, dan benar-benar memasuki dunia pembelajaran abad ke-21 — dunia di mana setiap anak punya hak untuk berpikir, berkreasi, dan menjadi dirinya sendiri. (*)

Penulis : Nanang Wiwit Sinudarsono, S.Pd,. Gr. (Pemerhati Pendidikan)