Mencari Titik Terang Konflik Agraria: Urgensi Pengadilan Khusus dan Kebijakan Satu Peta

Bambang Widjojanto (Foto : daswati.id)

ranjana.id Kompleksitas masalah agraria di Indonesia kian mendesak untuk ditangani secara lebih terstruktur dan komprehensif, seiring dengan terus munculnya tumpang tindih kewenangan dan kekisruhan dalam penyelesaian sengketa.

Hal ini menjadi sorotan utama, menyusul pernyataan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2011-2015, Bambang Widjojanto, usai Dialog Kebangsaan “Indonesia Hari ini” pada acara Temu Rakyat Sumatera di Balai Desa Sripendowo, Lampung Timur, Sabtu (6/9/2025) malam.

Menurut Bambang Widjojanto, salah satu akar masalah adalah ketiadaan Pengadilan Agraria yang khusus menangani sengketa tanah dan sumber daya alam.

Ia menyoroti ironi bahwa “ikan saja punya Pengadilan Perikanan,” sementara masalah agraria yang kompleks dan seringkali berlapis-lapis—mulai dari ranah Perdata, Pidana, hingga Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)—belum memiliki wadah penyelesaian yang terintegrasi.

Ketua Dewan Pengurus YLBHI 1995-2000 ini menilai tumpang Tindih kewenangan antarlembaga juga menjadi pemicu utama kekisruhan agraria nasional.

Ketika berbicara mengenai tanah dan sumber daya alam, terdapat Kementerian ATR/BPN, Kementerian Kehutanan, dan Kementerian ESDM yang masing-masing memiliki kewenangan.

“Soal kewenangan dasar, kalau ngomong tanah sumber daya alam, itu ada Kementerian ATR/BPN, Kementerian Kehutanan, Kementerian ESDM. Sengketa di seputaran itu bagaimana cara menyelesaikannya?” Ujar Bambang.

Ia menekankan bahwa ketiadaan “one map” (satu peta) secara otomatis menghilangkan “one policy” (satu kebijakan), yang menjadi krusial untuk menyelesaikan sengketa.

Tanpa peta tunggal, sulit menemukan jalan keluar ketika di atas tanah terdapat hutan, di bawahnya ada tambang, dan di tengahnya melibatkan masyarakat adat.

“Kalau pakai UU Pokok Agraria apakah Kementerian Kehutanan masih ada di situ?” Kata Bambang, mengisyaratkan bahwa banyak kebijakan yang kini bertentangan dengan semangat UUPA.

“Semua proyek PSN itu muncul izinnya darimana? Basis untuk menentukan policy-nya kan harus ada petanya,” jelas dia.

Bambang memandang kekisruhan yang bertumpuk-tumpuk ini menunjukkan bahwa penanganan masalah seringkali hanya menyentuh dampak atau “symptoms”, bukan “the roots of the problem” atau akar permasalahan sesungguhnya.

Kegagalan dalam merumuskan akar masalah membuat penyelesaian tidak efektif dan hanya bersifat sementara.

Bambang Widjojanto mengingatkan agar gugus tugas ini benar-benar berbasis pada kepentingan rakyat.

Ia juga menggarisbawahi bahwa isu sengketa agraria kini tidak hanya terbatas pada “perampasan tanah” (land grabbing), melainkan telah meluas menjadi “ocean grabbing” yang melibatkan perampasan wilayah pantai dan laut. (*)