Menaker Yassierli Soroti Tantangan Ketenagakerjaan RI : Dari Produktivitas Rendah Hingga Transformasi BLK

Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli (Foto : Kemnaker)

ranjana.id Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, memaparkan berbagai tantangan ketenagakerjaan yang tengah dihadapi Indonesia saat ini. Hal ini Ia paparkan dalam Forum Executive Breakfast Meeting (EBM) Seri III yang diselenggarakan oleh Ikatan Alumni Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (IKA FIKOM UNPAD) di Jakarta, Kamis (18/7/2025).

Dalam paparannya, Menaker menyebut bahwa tantangan ketenagakerjaan Indonesia bukanlah hal baru, melainkan kondisi bawaan yang sudah lama ada. Ia mencontohkan tingkat pengangguran terbuka yang meski secara persentase hanya 4,7 persen, namun dalam konteks populasi Indonesia yang mencapai 280 juta jiwa, angka ini berarti jutaan orang masih belum memiliki pekerjaan.

“Kita juga menghadapi realitas bahwa 85 persen tenaga kerja kita berpendidikan SMA ke bawah. Ketika teknologi dan AI mulai mengancam, ini jadi beban berat,” ungkapnya. Selain itu, kualitas SDM juga menjadi sorotan karena indeks pembangunan manusia Indonesia dan produktivitas kerja masih di bawah rata-rata ASEAN.

Menurut Yassierli, rendahnya produktivitas tersebut membuat daya saing industri nasional lemah. Ia menilai selama ini industri lebih dimanjakan oleh insentif finansial, tetapi belum cukup membangun daya tahan (resilience) yang berkelanjutan.

Menaker juga menegaskan bahwa secara struktural, Kementerian Ketenagakerjaan berada di posisi hilir, sehingga tak memiliki instrumen langsung untuk menciptakan lapangan kerja. “Tapi kami tidak tinggal diam. Sekarang kami sedang membangun kolaborasi lintas kementerian dan lembaga. Sudah ada hampir 20 MoU,” jelasnya.

Di antara bentuk kolaborasi itu, jelas Yassierli, adalah melibatkan koperasi (Kementerian Koperasi). Menaker menyebut saat ini Kemnaker sedang memosisikan diri layaknya divisi HR nasional, termasuk menyiapkan arsitektur kurikulum pelatihan khusus untuk koperasi. “Banyak koperasi gagal bukan karena legalitasnya, tapi karena kualitas SDM-nya. Kami akan alokasikan effort dan anggaran dari balai-balai latihan kerja untuk memperkuat ini,” ujarnya.

Yassierli menambahkan, pihaknya juga mengusulkan agar saat ini telah berkomunikasi dengan berbagai K/L agar Kemnaker dilibatkan sejak tahap awal proses investasi, agar dapat menyiapkan SDM sesuai kebutuhan sektor tersebut. Ini menjadi penting karena persoalan mismatch antara kebutuhan industri dan keahlian tenaga kerja masih menjadi masalah serius.

“Kami sadar bahwa lapangan kerja adalah harapan utama masyarakat. Tapi dalam kenyataannya, banyak industri tumbuh tapi kesulitan mendapatkan tenaga kerja yang sesuai. Ini bukan membalikkan fakta, ini realitas,” tegasnya.

Ia pun memaparkan bahwa modal utama Kemnaker dalam menjawab tantangan itu adalah Balai Latihan Kerja (BLK) atau Balai Pelatihan Vokasi dan Produktivitas (BPVP). Namun ia mengakui, tantangan efektivitas, efisiensi, dan skala masih besar.

“Pertanyaannya, apakah peserta pelatihan benar-benar bekerja sesuai pelatihannya? Apakah informasi pelatihan sampai ke masyarakat luas? Dan skalanya? Saat ini hanya menyentuh sekitar 140 ribu orang, padahal butuh jutaan,” katanya.

Untuk menjawab itu, Kemnaker kini tengah melakukan transformasi BLK dengan menambahkan kurikulum baru seperti industri 4.0, creative skills, smart office, hingga smart supply chain dan smart healthcare. “Saya bayangkan dua sampai tiga tahun ke depan, balai-balai ini menjadi tempat pencetak skill masa depan yang dibutuhkan Gen Z,” katanya.

Selain itu, pengembangan skill hijau (green jobs) seperti agroforestry juga tengah dikembangkan. Menaker menekankan pentingnya konektivitas antar pihak, baik kementerian, lembaga, swasta, hingga koperasi. “Connecting the dots itu penting. Kita kolaborasikan sumber daya masing-masing,” ujarnya.

Di sisi lain, Menaker juga menyinggung persoalan hubungan industrial yang masih sering bersifat transaksional. “Hubungan industrial masih terkotak-kotak. Padahal kita punya DNA gotong royong. Kami ingin membangun hubungan industrial Pancasila yang transformatif,” ucapnya.

Isu inklusivitas juga mendapat perhatian. Ia menggarisbawahi pentingnya pengembangan sistem informasi ketenagakerjaan yang juga mampu menjangkau kelompok rentan, termasuk penyandang disabilitas.

Menaker mengakui bahwa perubahan besar tidak bisa dilakukan secepat membalikkan telapak tangan. Namun langkah-langkah telah dimulai melalui sumber utama penciptaan kerja, di antaranya optimalisasi program strategis pemerintah seperti koperasi dan hilirisasi, perluasan peluang kerja ke luar negeri (termasuk magang), pertumbuhan industri dalam negeri, dan transformasi pelatihan vokasi.

“Kami melihat program prioritas Pak Presiden, seperti Makan Bergizi Gratis dan Koperasi Merah Putih, punya potensi besar. Misalnya, 3.000 dapur SPGN dari BUMN bisa menyerap 30.000 pekerja, sementara 80.000 koperasi berpotensi menyerap 2 juta tenaga kerja jika SDM-nya terlatih. Kami sudah punya 20 MoU dengan kementerian lain, seperti Pertanian, KKP, dan Investasi, untuk pastikan investasi program ini didukung tenaga kerja terampil,” ujarnya.

“Yang kita bangun adalah optimisme. Kita sadar tantangan besar, tapi kita juga tahu arah ke depan. Kami ingin Kemnaker jadi tempat yang baik untuk tumbuh, bagi pegawai dan masyarakat,” pungkasnya. (*)