ranjana.id – Pesawaran, (ranjana.id) – Proyek pembangunan talud sungai di Kecamatan Way Ratai, Kabupaten Pesawaran, yang dikerjakan oleh CV. Adi Jaya Lampung Konstruksi dengan nilai kontrak sebesar Rp 2.683.367.900 melalui SPK Nomor: 10/SPK/RBT/VI.08/2025, kini menuai sorotan publik. Pasalnya, pelaksana proyek tersebut diduga menggunakan material batu dari tambang ilegal milik seorang warga bernama Wahyudin, yang beralamat di Desa Bunut, Kecamatan Way Ratai.
Tidak hanya itu, berdasarkan hasil investigasi di lapangan, pelaksana proyek juga diduga melakukan pengoplosan material, yakni mencampurkan batu dari tambang ilegal tersebut dengan batu yang langsung diambil dari aliran sungai di lokasi proyek tanpa pembelian resmi. Hal ini tentu saja mengundang pertanyaan serius terkait kepatuhan terhadap standar teknis dan hukum dalam pelaksanaan proyek yang dibiayai negara.
Pendiri LSM Sadar Hukum, MH Indardewa, kepada awak media menyatakan bahwa dugaan pelanggaran ini merupakan bentuk pembiaran yang tidak dapat ditoleransi.
“Kami menemukan fakta dari masyarakat sekitar bahwa batu-batu proyek ini diambil dari sungai tanpa pembelian serta dioplos dengan batu dari tambang ilegal milik Wahyudin. Ini jelas melanggar aturan hukum yang berlaku,” ujar Indardewa, Selasa (25/06/2025).
MH Indardewa menegaskan bahwa penggunaan material dari tambang tanpa izin dalam proyek pemerintah merupakan pelanggaran serius terhadap hukum yang berlaku. Ia merujuk pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
Dalam Pasal 158 UU Minerba, disebutkan bahwa “Setiap orang yang melakukan penambangan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak seratus miliar rupiah.”
Tak hanya itu, lanjutnya, Pasal 161 UU Minerba juga mengatur sanksi bagi pihak-pihak yang menampung atau memanfaatkan hasil tambang ilegal.
“Setiap orang yang menampung, memanfaatkan, mengangkut, atau menjual mineral dan/atau batubara yang tidak berasal dari pemegang izin resmi dapat dipidana lima tahun penjara dan denda seratus miliar rupiah,” jelasnya.
“Apalagi ini materialnya dioplos. Jika masih ada yang coba-coba main seperti ini, silakan saja, tapi jangan salahkan kalau proses hukum berjalan,” tutur Indardewa dengan nada tegas.
Indardewa juga mengaku telah mencoba mengkonfirmasi keberadaan tambang ilegal tersebut kepada Camat Way Ratai, Data Trianda, namun upaya tersebut tidak berhasil secara langsung.
“Saya ke kantor camat, tapi Camat tidak bisa ditemui. Saat saya hubungi via telepon, camat mengatakan tidak memiliki wewenang menindak tambang ilegal itu. Bahkan ia menyebut Trantib Kecamatan Way Ratai sebagian besar perempuan sehingga tidak memungkinkan untuk turun ke lapangan, namun meskipun camat tidak memiliki kewenangan langsung untuk menindak tambang ilegal, mereka memiliki peran penting dalam pencegahan dan pelaporan, serta berkoordinasi dengan pihak yang berwenang untuk penindakan lebih lanjut” kata Indardewa.
Sementara itu, Kino, selaku pelaksana lapangan proyek, tidak berada di lokasi saat hendak dikonfirmasi oleh Indardewa. Ketidakhadiran ini justru menambah daftar kecurigaan publik terhadap ketertutupan dan potensi penyimpangan dalam proyek tersebut.
Hingga berita ini diterbitkan, belum ada tanggapan resmi dari pihak pelaksana proyek maupun instansi terkait mengenai dugaan tersebut. (Redaksi)