Bandar Lampung, ranjana.id – Permintaan maaf dan pengungkapan identitas yang dilakukan group musik punk Sukatani atas lagu Bayar Bayar Bayar ciptaannya, mengundang kontroversi bagi geraka npro demokrasi.
Banyak aktivis pro demokrasi menilai kuat dugaan ada upaya represif, intimidasi, dan pembungkaman kebebasan berekspresi melalui karya seni yamg menyampaikan kritik sosial.
Hal tersebut juga disoroti oleh LBH Bandar Lampung, sebuah organisasi yang puluhan tahun memperjuangkan proses demokratisasi di Lampung.
Menurut LBH Bandar Lampung, kejadian yang menimpa band punk Sukatani bukan kali pertama terjadi, sebelumnya telah terjadi larangan pementasan teater dan pelarangan pameran lukisan oleh pemerintah.
Saat di temui di kantornya (21/2/2025), Prabowo Pamungkas, Kadiv Advokasi LBH Bandar Lampung, menjelaskan, kejadian yang menimpa band punk Sukatani diduga kuat merupakan upaya pemberangusan terhadap kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat di muka umum.
“Ini bentuk pembredelan karya seni yang berturut-turut terjadi dan menunjukan pola yang sama, dimana karya seni yang berisi kritik sosial dilarang di publikasikan di muka umum”, jelas Bowo, sapaan akrab Kadiv Advokasi LBH Bandar Lampung tersebut.
Menurutnya, upaya intimidasi, pembredelan, dan pelarangan terhadap karya seni oleh pihak mana pun melanggar UU 39/199 tentang Hak Asasi Manusia dan UU 12/2005 tentang Pengesahan International Convenan kn Civil and Political Rights.
“Seharusnya negara melindungi kebebasan berekspresi dan berpendapat warga negaranya. Jika terjadi upaya represi kepada pengkritik karena dianggap mengganggu citra institusi terjadi, ini menunjukan karakter pemerintahan yang otoriter.” tegas Bowo.
Ia menambahkan, slogan siapa pun bisa kena benar adanya, tidak hanya aktivis dan demonstran, bahkan seniman yang menyampaikan keresahan dan kritik sosial kepada negara dibatasi dengan izin, sensor dan pelarangan.
“Di Lampung juga sama, pemberangusan kebabasan berekspresi dan berpendapat di muka umum juga terjadi. Di UM Metro, mahasiswa di kriminalisasi dengan UU ITE karena mengkritik fasilitas kampus. Yang tebaru, minggu lalu, konsolidasi dan diskusi mahasiswa Unila dibubarkan pihak kampus dengan alasan izin.” jelas Bowo.
Ia mengajak aktivis pro demokrasi untuk tetap bergerak dan menyuarakan kritik terhadap hal-hal yang merugikan masyarakat dengan terus melakukan konsolidasi dan pengorganisasian di akar rumput untuk memperluas spektrum kritik sosial.
“Indonesia darurat kebasan berkspresi. Demokrasi yang rusak parah sejak 2019 harus diperbaiki dengan gerakan akar rumput yang lantang menyurakan kritik. Manfaatkan media sosial, untuk menyampaikan kritik dan lawan pengekangan demokrasi.” tutup Bowo. (Redaksi)