ranjana.id – Pernyataan FX Sumarja SH MH, dosen Universitas Lampung yang juga pemerhati hukum agraria, bahwa tanah marga di Lampung sudah dihapuskan sejak Keputusan Presiden (Keppres) Tahun 1952 dan diperkuat oleh Peraturan Gubernur Tahun 1974 serta 1977, memunculkan polemik yang tak jelas.
Pernyataan tersebut perlu diluruskan agar tidak menyesatkan secara hukum dan sejarah. Tidak ada Keppres tahun 1952 yang secara eksplisit menghapus tanah marga di Lampung. Yang ada adalah Ketetapan Residen Lampung No. 153/D/1952 yang mengganti sistem marga menjadi negeri. Namun, perubahan itu tidak otomatis menghapus hak ulayat masyarakat adat.
Keputusan tahun 1952 tersebut kemudian ditafsirkan secara keliru oleh birokrasi daerah pada dekade 1970-an. Penafsiran administratif inilah yang kemudian melahirkan SK Gubernur Lampung No. G/127/DA/HK/1974 dan SK G/088/DA/HK/1977 yang menyatakan Tanah Negeri atau Tanah Marga sebagai Tanah Negara. Inilah akar masalahnya.

SK Gubernur bukan sumber hukum yang bisa menghapus hak adat. “SK Gubernur itu bersifat administratif dan individual, bukan norma hukum yang bisa mencabut hak masyarakat adat. Jadi, tindakan itu jelas ultra vires — melampaui kewenangan.
Tidak ada satu pun undang-undang yang memberikan kewenangan kepada Gubernur untuk mencabut otoritas adat atau mengubah status tanah adat menjadi tanah negara. “Bahkan, UUPA No. 5 Tahun 1960 tidak pernah memberi ruang untuk itu. Sebaliknya, Pasal 3 UUPA menegaskan pengakuan terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat selama masih ada.
Mengutip pasal tersebut, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa hingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara serta tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan lainnya.
Jadi, negara tidak boleh menghapus hak ulayat, hanya boleh mengatur pelaksanaannya.
SK Gubernur tahun 1974 dan 1977 itu inkonstitusional secara materiil. SK Gubernur tidak boleh meniadakan hak yang dijamin oleh UUPA dan UUD 1945. Dalam asas hukum Lex Superior Derogat Legi Inferiori, peraturan yang lebih rendah tidak bisa menghapus yang lebih tinggi.
Negara justru berkewajiban menghormati, mengakui, dan melindungi masyarakat adat. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menyebutkan, negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Jadi penghapusan marga tanpa konsultasi dan penghormatan terhadap struktur sosial adalah pengingkaran terhadap konstitusi.
Lebih jauh, bahwa penghapusan marga juga melanggar Pasal 28I ayat (3) dan (4) UUD 1945 yang menegaskan perlindungan terhadap identitas budaya dan hak masyarakat tradisional sebagai bagian dari hak asasi manusia. Itu artinya, tindakan sepihak tersebut juga mencabut identitas sosial dan hukum masyarakat adat.
Selain bertentangan dengan hukum nasional, ia menegaskan, kebijakan masa lalu itu tidak sejalan dengan prinsip hak asasi manusia internasional sebagaimana tercantum dalam ICCPR, ICESCR, dan Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat (UNDRIP). Prinsip free, prior, and informed consent (FPIC) harus dijunjung tinggi. Segala kebijakan yang memengaruhi masyarakat adat wajib melibatkan mereka sejak awal.
klaim masyarakat adat atas tanah marga yang dahulu diambil tanpa dasar hukum sah—misalnya oleh perusahaan perkebunan atau kehutanan—memiliki dasar hukum kuat. UUD 1945 Pasal 18B ayat (2) dan UUPA Pasal 3 memberi dasar pengakuan terhadap hak ulayat yang masih hidup. Jadi, pemerintah daerah dan BPN seharusnya tidak meneruskan kesalahan masa lalu, tetapi memperbaikinya.
Sudah saatnya kita berhenti menjustifikasi kesalahan administratif masa lalu. Pemerintah harus berani melakukan koreksi dan pemulihan hak masyarakat adat. (*)
Penulis : Iwan Nurdin (Ketua Majelis Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria)






