Jakarta, ranjana.id – ICT Watch mengapresiasi Kementerian Komunikasi dan Digital peluncuran Peraturan Pemerintah tentang Tata Kelola Pelindungan Anak dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik (PP TKPAPSE) atau kebijakan Tata Kelola untuk Anak Aman dan Sehat Digital (TUNAS). Peluncuran P TKPAPSE tersebut dilakukan oleh Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara pada Jumat sore (28/3/2025).
Hal ini menunjukkan bahwa negara berupaya hadir dan proaktif memastikan pelindungan dan keselamatan anak, termasuk di ranah digital.
Indriyatno Banyumurti, Direktur Eksekutif ICT Watch, dalam rilisnya (29/3/2025), mengatakan, sebagai organisasi masyarakat sipil yang diinisiasi pada tahun 2002 dengan salah satu misinya adalah untuk mendorong pemenuhan hak-hak keamanan anak di internet, memiliki tiga catatan kritis atas dirilisnya kebijakan TUNAS tersebut.
“Pertama, proses penyusunan TUNAS terkesan terburu-buru. Kedua, Pelibatan partisipasi publik belum bermakna, setara dan inklusif. Dan ketiga, proses pembahasan minim transparansi dan akuntabilitas.” jelasnya
Menurut ICT Watch, proses penyusunan TUNAS sangat terkesan terburu-buru seakan mengejar tenggat waktu tertentu dan berisiko menghilangkan esensi utama keselamatan dan keamanan anak itu sendiri.
Selanjutnya, ICT Watch menilai, walaupun sudah ada itikad baik dari pemerintah untuk mengundang sejumlah pihak dalam beberapa pertemuan pembahasan, namun prosesnya masih belum menjunjung asas kebermaknaan, kesetaraan dan inklusivitas.
Menurut Banyumurti, pelibatan organisasi masyarakat sipil, anak, dan pemangku kepentingan lainnya cenderung sekedar tokenisme. Padahal, jika pelibatan ini dilakukan dengan sepatutnya, hal yang diatur dapat lebih tepat menjawab kondisi dan tantangan anak di internet.
“Kami menekankan, bahwa tanpa pelibatan yang bermakna, setara dan inklusif, regulasi yang terbentuk hanyalah regulasi sepihak saja yang terkesan top down”, kata Banyumurti.
Ia menambahkan, saat proses pembahasan berjalan, informasi terkait perkembangan RPP, draf final, maupun catatan proses tidak tersedia untuk publik. Ini bertentangan dengan prinsip keterbukaan informasi sebagaimana dijamin oleh UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan UU No 12 Tahun 2011 dan perubahannya tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
“Secara khusus kami menggarisbawahi, perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka agar seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sesuai peraturan yang ada”, tambahnya.
Berdasarkan catatan kritis tersebut maka ICT Watch mendesak pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Digital, untuk memahami bahwa penyusunan regulasi terkait Internet di Indonesia ke depannya, termasuk terkait dengan keselamatan dan keamanan anak di ruang digital, wajib patuh pada asas transparansi, akuntabilitas dan inklusivitas sebagaimana diatur dalam UU nomor 12 tahun2011 dan perubahannya.
“Komdigi harus segera menyediakan akses yang terbuka kepada publik terkait notulensi pembahasan, perumusan RPP, draf RPP final maupun naskah PP yang telah disahkan yang memungkinkan berbagai pihak dapat mengkaji dan memberikan masukan lebih lanjut”, jelas Banyumurti.
Ia juga meminta Komdigi untuk menjamin bahwa penyusunan regulasi terkait kepentingan publik hendaknya selalu menjunjung pelibatan secara bermakna para pemangku kepentingan, termasuk dalam hal ini adalah adanya pelibatan bermakna anak sebagai kelompok penerima manfaat dan terdampak dalam seluruh tahapan penyusunan, tidak sekedar alakadarnya atau tokenisme belaka.
“ICT Watch menegaskan bahwa tata kelola Internet, termasuk pelindungan anak di ruang digital, memerlukan lebih dari sekadar proyek regulatif teknokratik. Dibutuhkan kebijakan publik yang berdampak, berbasis bukti komprehensif, dan dirumuskan secara terbuka dengan melibatkan para pemangku kepentingan, termasuk anak, secara bermakna.” tutup Banyumurti. (*)