ranjana.id – Tahun 2025 menjadi momen transisi penting bagi tata kelola keuangan negara. Pemerintah pusat menerapkan kebijakan efisiensi anggaran yang berdampak hingga ke tingkat daerah. Langkah ini bertujuan menyesuaikan belanja negara dengan kondisi fiskal, sekaligus menekan pengeluaran yang tidak prioritas.
Namun, kebijakan efisiensi ini menuai beragam reaksi. Dari kalangan pakar, pengamat, politisi, hingga tokoh masyarakat, responsnya bervariasi: ada yang memahami substansinya, ada yang setengah mengerti, bahkan ada pula yang memanfaatkan isu ini demi kepentingan politik semata.
Di tengah situasi ini, kepala daerah baik gubernur, bupati, wali kota, hingga wali nagari menjadi pihak yang paling terdampak. Mereka berada di garis depan, berhadapan langsung dengan masyarakat yang menuntut program berjalan seperti biasa. Padahal, ruang fiskal mereka menyempit.

Kondisi ini membuat banyak kepala daerah serba salah. Di satu sisi, mereka ingin mengakomodasi aspirasi masyarakat, tapi di sisi lain dibatasi oleh regulasi efisiensi yang ketat. Sayangnya, masyarakat sering kali tidak peduli dengan dalih efisiensi anggaran. Yang penting bagi mereka, program bisa dilaksanakan dan kehadiran pemerintah tetap terasa.
Ketika kegiatan masyarakat tak bisa didukung anggaran daerah, kepala daerah sering dicap tidak peduli atau bahkan gagal. Penjelasan normatif tidak cukup di tengah opini publik yang mudah digiring oleh narasi sepihak terutama melalui media sosial atau percakapan informal yang sarat bumbu provokasi.
Fenomena ini menunjukkan pentingnya literasi publik tentang kebijakan anggaran. Kita perlu membangun pemahaman bersama bahwa efisiensi bukan berarti anti-program, melainkan penataan ulang prioritas. Masyarakat yang paham akan hal ini diharapkan tidak mudah tersulut narasi negatif.
Lebih dari itu, kita harus berhenti menjadikan isu-isu teknokratis sebagai alat untuk menjatuhkan atau membully pemimpin daerah. Budaya perundungan politik hanya akan merusak iklim demokrasi lokal dan memperburuk relasi sosial antara pemimpin dan rakyatnya.
Di era digital seperti sekarang, kita tidak kekurangan informasi yang kita butuhkan adalah penjernih. Kita butuh lebih banyak tokoh yang memberi solusi, bukan mereka yang menyebar provokasi. Sebab, bagaimana masyarakat bersikap hari ini akan membentuk arah kepemimpinan daerah di masa depan.
Mari jaga ruang publik tetap sehat, rasional, dan konstruktif demi masa depan daerah yang lebih kuat dan berdaulat secara sosial-politik. (*)
Penulis : Azwar Mardin, S.E (Ketua Bawaslu Kabupaten Padang Pariaman)