FPSBI-KSN : Modernisasi Alutista Dan Kesejahteraan Prajurit Lebih Penting Dari Penambahan Jabatan Di Ranah Sipil

FPSBI-KSN Saat Melakukan Unjuk Rasa (foto : FPSBI-KSN)

Bandar Lampung, ranjana.id Pada 11 Maret 2025 Pemerintah sudah menyampaikan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) diusulkan masuk Prolegnas Prioritas 2025 setelah muncul Surat Presiden RI Nomor R12/Pres/02/2025 tertanggal 13 Februari 2025.

Kemudian DPR menggelar rapat maraton bersama pemerintah karena anggota DPR akan mulai reses ke masing-masing daerah pemilihan pada 21 Maret 2025. Komisi I DPR pada awal Maret 2025 mengundang sejumlah ahli dan meminta masukan. Pada 11 Maret 2025, DPR menggelar rapat kerja dengan Menteri Pertahanan untuk membahas tindak lanjut perubahan aturan tentara di Indonesia.

Dan, pada 14 dan 15 Maret 2025 Komisi I DPR RI menggunakan jalur kebut dalam menggelar rapat Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI (RUU TNI) bersama pemerintah dalam model rapat tertutup di Hotel Fairmont, kawasan Jakarta Pusat.

Joko Purwanto, Ketua Federasi Pergerakan Serikat Buruh Indonesia – Konfederasi Serikat Nasional (FSPBI-KSN), dalam rilisinya (18/3/2025), menjelaskan, revisi tersbut akan mengatur penambahan usia dinas keprajuritan serta memperluas keterlibatan militer aktif dalam jabatan-jabatan sipil, melalui Revisi UU TNI pasal 7 ayat 2 yang mengatur tentang kewenangan dalam operasi militer selain perang. Fungsi pengawasan dan perbantuan TNI di tambah dalam ruang siber, narkotika, hingga perlindungan WNI dan kepentingan nasional di luar negeri. Kemudian pasal 47 ayat 2 yang Dalam UU sebelumnya regulasi ini mengatur batas tugas TNI di lembaga-lembaga sipil. Dalam Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang TNI disebutkan bahwa prajurit aktif hanya dapat mengisi jabatan sipil di sepuluh kementerian/lembaga, yaitu di Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, dan Sekretaris Militer Presiden.

“Dalam aturan tersebut, personel aktif TNI dimungkinkan mengisi jabatan di Badan Intelijen Negara, Lembaga Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Badan Narkotika Nasional, serta Mahkamah Agung. Kemudian akan direvisi UU TNI tersebut yang tertuang dalam DIM, yakni pemerintah mengusulkan menambah lima pos kementerian, lembaga yang dapat diisi prajurit aktif.” jelas Joko.

Ia menambahkan, kelimanya pos kememerian/lembaga tersebut adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Keamanan Laut, dan Kejaksaan Agung.

“Menyikapi hal tersebut, FPSBI-KSN menilai ada kekhawatiran tersendiri dalam RUU TNI yang akan berpotensi mengacaukan tatanan demokrasi serta kembalinya militerisme dan Dwifungsi ABRI era Orde Baru yang menjadi trauma kolektif masyarakat Indonesia”, ucapnnya

Menurutnya, jika dilihat secara substansi, FPSBI-KSN menilai sangat tidak tepat pembahasan perluasan dan penempatan di jabatan sipil tidaklah tepat karena fungsi TNI sejatinya sebagai alat pertahanan negara. FPSBI-KSN juga menilai, penambahan tugas operasi militer selain perang terlalu berlebihan karena tetap dalam koridor penegakan hukum yang ada.

“Dalam hal ini FPSBI-KSN berpendapat, apabila guna membangun transformasi TNI ke arah militer yang profesional mestinya Pemerintah dan DPR menetapkan pasal-asal tentang prajurit militer agar tunduk pada peradilan umum jika terlibat tindak pidana umum, hal itu demi menegakkan asas persamaan di hadapan hukum yang ditegaskan dalam konstitusi Indonesia”, papar Joko.

“Yang diperlukan sebenarnya bukanlah perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit TNI aktif. Akan tetapi justru penyempitan, pembatasan dan pengurangan TNI aktif untuk duduk di jabatan sipil sebagaimana diatur dalam UU TNI. Jadi jika ingin merevisi UU TNI justru seharusnya 10 jabatan sipil yang diatur dalam pasal 47 ayat (2) UU TNI dikurangi bukan malah ditambah.” tambah Joko.

FPSBI-KSN juga menyoroti adanya potensi yang bahaya apabila ada pelibatan militer dalam operasi militer selain perang , tidak lagi memerlukan persetujuan DPR melalui kebijakan politik negara sebagaimana telah diatur pasal 7 ayat 3 UU TNI 34/2004, justru secara nyata meniadakan peran parlemen sebagai wakil rakyat dan akan menimbulkan konflik kewenangan karena tumpang tindih dengan lembaga lain khususnya aparat penegak hukum dalam mengatasi masalah di dalam negeri.

“FPSBI-KSN berpendapat, daripada membahas RUU TNI ada baiknya DPR dan pemerintah itu membahas bagaimana memodernisasi alutsista tanpa adanya korupsi dan bagaimana meningkatkan kesejahteraan prajurit TNI. Modernisasi alutista tanpa adanya korupsi dan peningkatan kesejahteraan prajurit TNI jauh lebih penting dari revisi UU TNI.” tutup Joko. (*)