ranjana.id – Menanggapi merebaknya polemik terkait legalitas tanah yang dikuasai masyarakat di Kelurahan Gunung Sari, Enggal, Bandar Lampung, yang dianggap tidak sah dengan keberadaan Gronkaart Nomor 10 tahun 1913, Forum Komunikasi Masyarakat Gunungsari Bersatu (FKMGB) akhirnya angkat bicara.
Perhendra, Ketua FKMGB, menjelaskan bahwa klaim atas tanah yang dikuasai masyarakat dengan Grondkaart oleh pihak tertentu adalah bentuk pembangkangan atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Menurutnya, klaim pihak tersebut tidak berdasarkan bukti kepemilikan yang sah, berupa sertipikat atas tanah berdasarkan ketentuan undang-undang agraria.
“Grondkaart itu bukan bukti kepemilikan tanah. Kalau grondkaart mau dinaikan jadi sertipikat maka harus didaftarkan kembali ke BPN. Tapi batas waktu yang diberikan undang-undang agraria sudah terlewat dan belum didaftarkan ke BPN. Batas pengurusnya kan tahun 2000 lalu dan tidak dilakukan.”, ungkap Perhendra (29/8/2025).
Ia juga menjelaskan, bahwa polemik Grondkaart adalah polemik lama yang sengaja kembali diangkat dan membuat resah masyarakat Gunung Sari.
“Ini bikin resah masyarakat. Tahun 2007 lalu kami sudah mengajukan permohonan pelepasan tanah tersebut ke Kementerian Keuangan di Jakarta dengan disertai rekomendasi Walikota, Ketua DPRD, Kepala BPN Bandar Lampung, dan Kepala BPN Lampung.” kata Perhendra.
“Kenapa kami mengajukan pelepasan tanah, karena kami tau bahwa grondkart 10 tahun 1913 itu tidak diurus dan tidak diubah jadi sertipikat. Dan, selama Menteri Kuangan belum menjawab surat permohonan pelepasan kami, tanah Gunung Sari jadi milik negara, bukan milik pihak tertentu yang mengklaim. Status quo itu.” tambahnya.
Perhendra juga menyayangkan ada pihak yang mengklaim tanah Masjid Taqwa di jalan Kotaraja dan mengkalim pemilik tanah Kantor Kelurahan Gunung Sari dengan dasar grondkaart.
“Tadi kami bertemu dengan Pengurus Masjid Taqwa untuk mencabut surat yang mengakui tanah masjid adalah tanah pihak lain. Itu tanah wakaf masyarakat, dibangun atas swadaya masyarakat. Kami juga tegaskan tadi, masyarakat sedang memperjuangkan pelepasan ke Kementrian Keuangan, karena pengakuan pengurus masjid itu merugikan masyarakat yang sedang berjuang.” katanya.
Perhendra menambahkan, FKMGB mempertanyakan maksud pihak yang mengklaim pemilik tanah dengan dasar Grondkaart 10/1913, karena grondkaart tersebut berisi gambar bidang tanah yang terbentang dari Rejosari, Natar, Lampung Selatan, sampai Srengsem, Panjang, Bandar Lampung.
“Kenapa yang dikotak-katik hanya Gunung Sari? Sementara ditempat lain sertipikat bisa dikeluarkan BPN. Ini aneh, dan FKMGB siap menggerakan masyarakat melawan klaim tersebut. Kami kan sudah minta pelepasan ke Kemnkeu.” katanya.
“Selain itu, grondkaart itu sudah kalah dipengadilan dalam kasus sekolah di Pasir Gintung. Kenapa Pasar Tengah yang juga di kelurahan Gunung Sari ada yang hak milik masyarakat?” ujarnya.
FKMGB menyatakan akan kembali mendatangi Kementrian Keuangan untuk menanyakan kelanjutan permohonan pelepasan tanah di Gunung Sari tersebut.
“Jangan membuat resah dan mengusik kehidupan masyarakat Gunung Sari sudah tenang walaupun ekonominya pas-pasan. Pemerintah Kota Bandar Lampung harus turun tangan soal ini, karena ini menyangkut kelanjutan kehidupan masyarakat.” pungkasnya. (Redaksi)