ranjana.id – Bayangkan suasana paruh kedua tahun 1998. Indonesia bagai kuali raksasa yang mendidih. Orde Baru yang berkuasa lebih dari tiga dekade dengan tangan besi akhirnya tumbang. Soeharto lengser, meninggalkan negeri dalam kekacauan: ekonomi runtuh, kepercayaan publik hancur, dan trauma politik menyelimuti rakyat. Tapi dari reruntuhan rezim itulah embun harapan mulai menetes — lahirlah era Reformasi, dengan janji kebebasan, demokrasi, dan keterbukaan.
Di tengah euforia dan kekacauan itulah, pada 9–12 Juli 1999 di Bogor, sebuah organisasi mahasiswa menghirup napas pertamanya: Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND). Ia bukan lahir dari rahim yang sunyi, melainkan dari rahim perlawanan yang menumbangkan Soeharto. LMND adalah anak kandung Reformasi — darahnya mengalir dari semangat para aktivis yang diculik, disiksa, dan dihilangkan paksa oleh rezim Orde Baru.
Menggugat Gelar Pahlawan Nasional Soeharto
Wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto, seperti diberitakan media online pada 21 Oktober 2025 dengan judul “Gus Dur, Soeharto hingga Marsinah Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional”, telah melukai ingatan kolektif bangsa. Dalam laporan itu disebutkan, ada 40 nama tokoh yang diusulkan kepada Menteri Kebudayaan, dan satu di antaranya adalah Soeharto.

Ini bukan sekadar urusan administratif. Gelar Pahlawan Nasional adalah tindakan sakral dalam memori bangsa — menuliskan nama seseorang dengan tinta emas sejarah, sebagai suri teladan yang patut dikenang dan dibanggakan lintas generasi. Ia adalah penghormatan terhadap mereka yang mengangkat martabat kemanusiaan dan bangsa.
Namun, menaikkan nama Soeharto ke panggung para pahlawan justru adalah bentuk pengkhianatan terhadap sejarah dan jiwa Reformasi. Itu bukan penghormatan, melainkan upaya memutihkan dosa-dosa rezim yang dibangunnya di atas darah dan penderitaan rakyat. Mengangkat Soeharto berarti membalsem sejarah dengan formalin kebohongan.
Dari tahun 1965 hingga kejatuhannya pada 1998, jutaan korban berjatuhan — termasuk para aktivis yang hilang tanpa jejak seperti Wiji Thukul, Suyat, dan Bima Petrus Anugerah. Mereka bukan sekadar nama, tapi saksi bisu dari kekejaman negara yang kini coba dihapus lewat narasi “kepahlawanan.”
Suara Kritis LMND terhadap Soeharto
Reformasi adalah rahim yang melahirkan LMND. Maka dosa-dosa Orde Baru adalah trauma genetik yang membentuk DNA perjuangannya. Untuk memahami semangat LMND, kita harus membuka kembali lembaran kelam kekuasaan Soeharto — sebuah orde yang bukan sekadar pemerintahan, tapi struktur dosa yang terorganisir dan menindas.
1. Dosa terhadap Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia
Kekuasaan Soeharto berdiri di atas kuburan massal. Tragedi 1965–1966 menjadi fondasi berdirinya Orde Baru — ratusan ribu nyawa melayang, jutaan lainnya dikurung, dibuang, dan dicap sebagai musuh negara. Lalu muncul operasi-operasi militer yang represif: Petrus (1980-an), Tanjung Priok (1984), dan penindasan di Aceh, Papua, serta Timor Timur. Kekerasan dijadikan bahasa resmi negara. Soeharto mengajarkan bahwa kekuasaan bisa lestari dengan menormalisasi pembunuhan.
2. Dosa Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang Sistematis
Korupsi di era Soeharto bukan penyimpangan
Ia adalah sistem itu sendiri. Melalui monopoli, yayasan-yayasan seperti Yayasan Dakab, dan proyek-proyek mercusuar, kekayaan negara dialirkan ke keluarga Cendana dan kroni bisnisnya. Mereka menguasai hampir seluruh sektor strategis — dari minyak, kayu, hingga tepung terigu. Inilah akar lahirnya jurang kesenjangan sosial-ekonomi yang masih kita rasakan hingga hari ini.
3. Dosa Pembungkaman dan Depolitisasi Rakyat
Soeharto membangun kekuasaan dengan membungkam rakyat. Partai politik dipaksa melebur, Golkar menjadi mesin kekuasaan, dan asas tunggal Pancasila dijadikan alat penyeragaman. Pers dikontrol, seni dibelenggu, kampus dibungkam. Kritik dianggap ancaman, perbedaan pikiran dilabeli “anti-Pancasila.” Rakyat dijauhkan dari politik, dijadikan massa pasif yang mudah dikendalikan.
4. Dosa Eksploitasi Sumber Daya Alam
Atas nama pembangunan, kekayaan alam Indonesia dijarah habis-habisan. Hutan digunduli, tambang dikuasai korporasi asing dan kroni, masyarakat adat terusir dari tanahnya. Soeharto menjual sumber daya bangsa demi menopang kekuasaan dan memperkaya segelintir elit. Warisannya adalah kerusakan ekologis yang masih menghantui hingga kini.
5. Dosa yang Menghancurkan Ekonomi Rakyat
Kebijakan ekonomi yang sentralistis dan koruptif menjerumuskan bangsa ke krisis 1998. Hutang menumpuk, sektor riil hancur, perbankan dijadikan sapi perahan. Ketika krisis datang, rakyat kecil jadi korban paling awal — harga melonjak, pengangguran meningkat, dan kepercayaan publik runtuh total.
Soeharto Bukan Pahlawan, Tapi Pengingat
Pahlawan Nasional seharusnya diberikan kepada mereka yang menegakkan panji-panji kemanusiaan, bukan kepada mereka yang merobeknya. Sejarah tidak boleh dibengkokkan demi romantisme kekuasaan. Biarkan nama Soeharto tercatat dalam sejarah — bukan sebagai pahlawan, tapi sebagai peringatan: bahwa kekuasaan absolut tanpa kontrol hanya melahirkan penderitaan.
Itulah pelajaran terbesar yang ditinggalkannya. Dan pelajaran itu pula yang menjadi alasan mengapa LMND akan terus bersuara — menolak pengkhianatan terhadap sejarah, demi menjaga api Reformasi agar tak padam. (*)
Penulis : Riski Oktara Putra Sekretaris Jenderal (Sekjend) Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND)






