ranjana.id – Kenaikan pajak yang terjadi di Indonesia dikritik banyak pihak sebagai kebijakan yang memberatkan rakyat dan tidak mendukung upaya perbaikan ekonomi.
Salah satunya adalah kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sampai 250 persen di tengah kondisi ekonomi yang sulit seperti sekarang punya implikasi ekonomi, sosial, dan politik yang sangat kuat.
Erwin Remy, Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) Lampung menjelaskan, jika dianalisis secara komprehensif, lonjakan pajak ini jauh di atas inflasi umum yang berada 3–4 persen per tahun. Menurutnya, dalam kondisi ekonomi sulit, ketika daya beli menurun dan penghasilan stagnan, beban pajak ini terasa sangat memberatkan kehidupan ekonomi rakyat.
“Banyak warga mungkin tidak sanggup membayar, sehingga angka tunggakan pajak akan naik, dan justru penerimaan daerah bisa tidak maksimal”, kata Erwin Remy dalam rilisnya (17/8/2025).
Menurutnya, rakyat akan merasa pemerintah tidak peka pada kondisi rakyat, apalagi jika tidak disertai penjelasan transparan tentang peruntukan pajak tersebut. Sementara itu lonjakan kenaikan pajak juga akan memberi pengaruh buruk pada sektor pertanian.
“Kenaikan pajak pertanian yang terlalu drastis kontradiktif dengan tujuan nasional untuk menjaga harga pangan stabil, meningkatkan produktivitas pertanian, mencegah alih fungsi lahan”, jelas Erwin.
Ia menambahkan, di banyak negara, sektor pertanian justru mendapat subsidi atau keringanan pajak, terutama saat harga komoditas turun atau inflasi tinggi.
“Pengaruh lain secara tidak langsung, jika petani harus mengalokasikan lebih banyak uang untuk PBB, uang yang beredar untuk kebutuhan lain, pangan, pendidikan, dan perbaikan alat akan berkurang”, jelas Erwin.
SPI Lampung menilai PBB untuk lahan pertanian adalah komponen tetap dalam biaya produksi, sama seperti pupuk atau sewa traktor. Dengan kenaikan 250 persen, total biaya produksi naik signifikan, margin keuntungan yang sudah tipis makin tergerus.
“Mayoritas petani Pati adalah petani kecil dengan lahan kurang dari setengah hektare dan umumnya bekerja sebagai buruh tani. Sumber penghasilan utamanya adalah penjualan hasil panen musiman, padi, jagung, tembakau, dan tebu.” kata Erwin.
Ia juga menjelaskan bahwa pendapatan petani fluktuatif tergantung harga pasar, iklim, dan biaya produksi. Keadaan ini tidak akan jauh berbeda dengan pertanian di kabupaten yang lain.
Menurutnya, risiko ketegangan horizontal Jika kenaikan pajak dianggap hanya menguntungkan kelompok tertentu. Secara politik, langkah menaikkan pajak drastis di saat ekonomi lesu bisa menjadi “bunuh diri politik” karena dianggap melanggar prinsip kepatutan dan keberpihakan pada rakyat.
“Ambil contoh kejadian Pati karena kenaikan PBB yang dianggap memberatkan. Demo atau Petisi dan melakukan aduan resmi ke DPRD sebuah langkah yang sudah semestinya dilakukan masyarakat Pati, keputusan hak angket DPRD Pati akhirnya mendesak secara konstitusional makzulnya Sudewo dari jabatan Bupati Pati.” jelas Erwin
“Menyikapi tuntuan masyarakat Pati saat Demo yang lalu pemerintah tidak lagi pantas mengambil langkah atau tindakkan politik, sikap ini tentu akan memancing reaksi keras dari masyarakat tidak hanya di Pati namun seperti diketahui penolakkan kenaikan pajak juga terjadi di kabupaten² lain dan juga ditolak oleh masyarakatnya”, tambahnya.
SPI Lampung berharap Pemerintah untuk mengembalikan besaran pajak sebelum kenaikan dan membantu masyarakat dan bekerja sama membangun ekonomi agar inflasi tidak terjadi, kenaikan pajak yang lonjakkannya sangat tinggi justru akan memicu terjadinya inflasi. (*)