ranjana.id – Di sudut meja kayu yang mulai menua oleh percakapan panjang, Robertus Robet menyortir biji kopi arabika dengan penuh kehati-hatian. Tidak asal memilih, tidak asal menggiling. Setiap biji yang terpilih harus sempurna, karena bagi Robet, kopi bukan sekadar minuman, melainkan pintu menuju percakapan besar. “Ngopi sendiri itu seperti berpikir sendiri di ruangan kosong. Terlalu sunyi, terlalu sepi,” ujarnya suatu ketika. “Kopi hanya terasa utuh ketika diminum bersama.”
Cangkir Kopi yang Memantik Pemikiran
Di antara seruputan kopi dan asap cerutu yang mengepul di udara, ia tidak hanya berdiskusi tentang filsafat sosial, ekonomi politik, demokrasi, atau hak asasi manusia. Percakapan itu selalu melingkar pada hal yang paling mendasar bagi manusia, hubungan kita dengan alam, keberadaan kita di dunia yang semakin terpisah dari keseimbangan ekologis, dan bagaimana seharusnya kita berjuang, bukan hanya untuk manusia, tetapi juga untuk dunia yang menopang kita. “Jika demokrasi adalah suara semua, maka daun yang gugur pun harus kita dengar.”
Kalimat ini bukan sekadar puisi. Ia adalah politik. Politik yang lahir dari cangkir kopi, dari lapangan Brebes, Kampung Sawah, Tanjung Karang, Lampung dari puncak gunung tertinggi di dunia, dan dari ruang seminar tempat ia berdebat tanpa lelah untuk menggali makna keadilan.

Gunung sebagai Guru, Kopi sebagai Filosofi
Tidak ada tempat yang lebih memberikan pelajaran tentang kesunyian yang penuh bahasa selain puncak gunung. Sejak lama, Robet adalah penakluk ketinggian, seorang pemikir yang sering berdiam diri di tempat di mana oksigen mulai menipis, di mana manusia benar-benar diuji oleh alam. Dari puncak gunung Himalaya di Nepal, Gunung Elbrus tertinggi di Eropa, hingga puncak Jayawijaya dan gunung-gunung di Indonesia, ia mendaki bukan untuk menaklukkan, melainkan untuk mendengar suara dunia dalam bentuknya yang paling murni. “Di puncak gunung, kita kehilangan status, kekayaan, dan pengaruh. Yang tersisa hanyalah keberanian untuk bertahan dan rasa hormat terhadap kehidupan.”
Ketika dihadapkan pada keterbatasan fisik dan kesunyian yang hanya dihuni oleh angin dan batu, seseorang mulai memahami bahwa kesadaran manusia bukan hanya tentang dirinya sendiri, tetapi juga tentang semua yang ada di sekelilingnya, tentang pohon yang tumbuh di lereng, tentang sungai yang mengalir tanpa interupsi, tentang udara yang tanpa henti memberi kita kehidupan.
Di sinilah Ekosipasi mengambil bentuknya yang lebih mendalam. Jika Emansipasi selama ini hanya berbicara tentang kebebasan manusia dari sistem ekonomi dan politik yang menindas, Ekosipasi adalah revolusi yang lebih luas. ia bukan hanya membebaskan manusia, tetapi juga memulihkan hubungan antara manusia dan alam.
Cerutu, Kopi Arabika dan Percakapan yang Menantang Materialisme Semu
Di antara semua ritual yang ia jalani, ada satu kebiasaan yang selalu menyertai momen-momen pemikirannya yang paling jernih, cerutu. Saat asap cerutu perlahan mengisi ruangan, percakapan tentang kapitalisme, eksploitasi, dan materialisme semu semakin tajam. Bukan hanya karena tembakau tua, seruputan kopi arabika yang semakin dalam meninggalkan jejak rasa, tetapi karena Robet memahami bahwa di dunia yang semakin konsumtif, manusia sering kali kehilangan kemanusiaannya. “Hati-hati dalam dunia material yang konsumtif,” katanya suatu malam. “Uang dianggap adalah segalanya, bisa menjadikan setan.”
Ia pernah melihat bagaimana idealisme bisa runtuh, bagaimana seseorang yang dulu memiliki prinsip bisa berubah hanya karena takut kehilangan posisi atau kenyamanan hidup. Ia telah menyaksikan bagaimana angka-angka di rekening bisa lebih menentukan kehidupan seseorang dibandingkan keberpihakan pada keadilan. Tetapi bagi Robet, perjuangan harus selalu kembali kepada kesederhanaan. Kopi yang ia seduh tidak pernah ia nikmati sendiri. Ia selalu berbagi, selalu mengundang teman berdiskusi, selalu menciptakan ruang untuk gagasan baru.
Ekosipasi : Kosakata Baru, Gagasan Besar
Dalam percakapan panjang yang lahir dari cangkir kopi, puncak gunung, dan asap cerutu, gedung seminar pencakar langit dan gubuk reot petani lahirlah sebuah gagasan besar, “EKOSIPASI”. Bukan hanya perluasan dari Emansipasi klasik yang antroposentrik. Ini induk teori baru yang mengguncang paradigma lama tentang hubungan manusia dengan alam. Jika selama ini demokrasi hanya berbicara tentang hak manusia.
Ekosipasi mengajukan pertanyaan yang lebih mendasar, “Bagaimana dengan hak gunung yang ditebang? Bagaimana dengan sungai yang dikotori? Bagaimana dengan laut yang dirusak tanpa batas?” Dalam teori ini, Robet menolak keras dikotomi lama antara alam dan manusia, mengadopsi pandangan Bruno Latour tentang jaringan aktor yang saling mempengaruhi. “Kalau ada fraksi pengusaha, harusnya ada fraksi pohon, laut, dan gunung.” Konsep ini menuntut perubahan mendasar dalam cara kita memandang demokrasi dan keadilan. Jika demokrasi adalah tentang representasi, maka alam pun harus memiliki hak dalam sistem politik.
Demokrasi yang Mendengar Suara Alam
Tepat hari kamis 12 Juni 2025, dalam suasana penuh hikmat di Aula Latief Hendraningrat, Universitas Negeri Jakarta, gagasan Ekosipasi mengemuka sebagai landasan filosofis baru bagi perjuangan demokrasi. “Jika demokrasi adalah suara semua, maka daun yang gugur pun harus kita dengar.” Kalimat ini bukan sekadar puisi. Ia adalah politik. Politik yang lahir dari cangkir kopi, dari jalanan Brebes, dari puncak gunung, dan dari ruang seminar tempat ia berdebat tanpa lelah untuk menggali makna keadilan. Selamat menjadi Guru Besar, Profesor, Bangga. Proficiat !!!. Robet adalah kita yang sedang berjuang mendengarkan kembali suara dunia. Salam Takzim, Penta Peturun.
Penulis : Penta Peturun (Stafsus Menteri Tenaga Kerja RI)