ranjana.id – Sampah. Masalah klasik yang terus berulang, seakan menjadi bagian dari keseharian kita yang tak lagi dianggap sebagai persoalan mendesak. Jalanan kota, selokan, bahkan sungai semuanya telah menjadi saksi bisu dari kebiasaan buruk masyarakat kita: membuang sampah sembarangan. Ironisnya, hal ini semakin terlihat sebagai sesuatu yang “biasa”. Seolah-olah tak ada lagi rasa bersalah saat membuang plastik bekas minuman ke trotoar, atau melemparkan kantong sampah ke aliran sungai terdekat.
Sampai kapan kita akan menormalisasi hal tidak baik seperti ini?
Mirisnya, kebijakan yang dibuat oleh pemerintah kerap kali bersifat normatif dan minim solusi. Papan larangan bertuliskan “Dilarang Buang Sampah di Sini” tersebar di berbagai sudut kota. Tapi lalu, kemana masyarakat harus membuang sampahnya? Di banyak daerah, tempat pembuangan sampah terbatas, akses layanan pengangkutan tidak memadai, dan sistem daur ulang nyaris tidak berjalan. Hasilnya, masyarakat yang tidak memiliki alternatif, memilih jalan pintas: buang sampah seenaknya.
Namun, tidak adil juga jika seluruh kesalahan dilemparkan kepada pemerintah. Masyarakat pun punya andil besar dalam persoalan ini. Kesadaran kolektif masih rendah. Budaya memilah sampah, mengurangi sampah plastik, atau sekadar membuang sampah pada tempatnya, belum melekat dalam kehidupan sehari-hari. Banyak yang masih berpikir bahwa setelah sampah keluar dari rumah, itu bukan lagi tanggung jawab pribadi padahal justru dari situlah tanggung jawab kita terhadap lingkungan dimulai.
Masalah sampah bukan sekadar persoalan kebersihan, tetapi sudah menjadi persoalan lingkungan hidup, kesehatan, dan masa depan generasi mendatang. Sungai-sungai yang tercemar sampah plastik bukan hanya menyebabkan banjir saat musim hujan, tetapi juga mengancam ekosistem air, bahkan masuk ke dalam rantai makanan manusia dalam bentuk mikroplastik. Udara yang tercemar dari pembakaran sampah terbuka berdampak buruk pada kualitas hidup kita semua.
Haruskah kita terus menutup mata?
Sudah saatnya kita berhenti menganggap masalah ini sebagai hal yang sepele. Perlu ada perubahan paradigma—dari yang sekadar melarang, menjadi memberi solusi. Pemerintah perlu lebih aktif membangun sistem pengelolaan sampah yang terintegrasi, menyediakan fasilitas pemilahan dan daur ulang, serta mengedukasi masyarakat secara masif dan konsisten.
Masyarakat pun harus mengambil bagian dalam solusi, bukan hanya menjadi sumber masalah. Edukasi sejak dini tentang pentingnya menjaga lingkungan harus terus digencarkan. Kebiasaan kecil seperti membawa tas belanja sendiri, tidak menggunakan plastik sekali pakai, dan memilah sampah di rumah, jika dilakukan secara kolektif, bisa membawa perubahan besar.
Kita tidak bisa terus seperti ini. Lingkungan adalah warisan yang harus kita jaga, bukan kita rusak. Mari kita berhenti membiarkan dan menormalisasi kebiasaan buruk ini. Karena masa depan lingkungan ada di tangan kita semua.
Penulis : Yulia Putri, S.P (Perangkat Nagari III Koto Aur Malintang)