ranjana.id – 27 pabrik pengolahan singkong merespon negatif atas dikeluarkannya Instruksi Gubernur Lampung Nomor 2 Tahun 2025 dimana harga singkong ditetapkan sebesar Rp. 1.350 dengan rafaksi maksimal 30 persen tanpa mengukur kadar aci.
Sejak 6/5/2025, pabrik-pabrik tersebut memutuskan untuk menghentikan operasional pabrik dan tidak membeli singkong hasil panen petani di seluruh Lampung. Pihak pabrik berdalih membutuhkan waktu untuk melakukan penyesuaian internal dan manajemen sebelum mengikuti harga yang ditetapkan Gubernur Lampung, serta beralasan masih memiliki persediaan singkong untuk diolah.
Mencermati sengkarut harga singkong ini, pengamat ekonomi Lampung, Saring Suhendro, mengatakan penolakan industri atas harga singkong yang ditetapkan Gubernur Lampung merupakan sinyal kuat bahwa struktur pasar singkong di Lampung berjalan tidak sehat.
Menurutnya, petani selama ini berhadapan dengan pilihan pembeli yang sangat terbatas, dimana posisi tawar mereka sangat lemah. Di sisi lain, pabrik-pabrik tapioka justru punya kuasa dan kendali besar dalam penentuan harga.
“Inilah gambaran pasar yang cenderung oligopsonistik, di mana harga ditentukan oleh segelintir pembeli besar yang menguasai jalur distribusi dan pengolahan”, ujar Saring Suhendro melalui pesan whatsapp (9/5/2025).
Ia juga menjelaskan, masalah singkong bukan hanya soal harga, namun ada masalah yang jauh lebih dalam yang menyangkut relasi kuasa dalam rantai pasok singkong.
“Mekanisme rafaksi, misalnya, penentuan potongan harga berdasarkan kadar pati (aci) itu tidak pernah transparan. Selama ini harga di tingkat petani ditekan dengan dalih-dalih teknis seperti itu.” tambah Saring Suhendro.
“Seharusnya semua pihak melihat bahwa ketika pemerintah, baik pusat maupun Provinsi menetapkan harga minimum singkong, itu sebenarnya adalah upaya meluruskan ketimpangan pasar yang terjadi, dan tidak dapat dimaknai sebagai upaya mencampuri pasar secara semena-mena”, ucap pengamat ekonomi Lampung itu.
Menurutnya, ketika reaksi dari pabrik justru banyak yang memilih menghentikan operasional, hal ini justru memperkuat dugaan bahwa pasar ini tidak berjalan kompetitif.
“Kalau benar pabrik-pabrik itu punya efisiensi dan struktur biaya yang wajar, mestinya mereka tetap bisa beroperasi meski harga naik sedikit. Tapi faktanya, mereka menutup pabrik sebagai bentuk tekanan balik. Ini pola yang tidak sehat dalam relasi industri-hulu.” papar Saring Suhendro.
“Menurut saya, langkah yang seharusnya dilakukan pemerintah terkait dengan masalah ini adalah pemerintah pusat/daerah tidak berhenti pada penetapan harga saja. Harus ada upaya membenahi struktur pasarnya. Petani perlu diperkuat lewat koperasi, akses informasi harga yang lebih transparan, dan jalur distribusi alternatif. Kalau tidak ada upaya-upaya ini maka kebijakan harga seperti ini akan terus ditolak oleh industri karena mereka merasa bisa mengontrol pasar sesuka hati.” tutupnya. (Redaksi)