ranjana.id – Reaksi rakyat, respon masyarakat–atau bahkan “reaksi pasar” alias “sentimen pasar” yaitu istilah-istilah yang sering kita dengar dalam pembicaraan tentang _”financial market”_ alias “pasar keuangan”–semuanya itu adalah symptom (gejala).
Kita boleh saja suka atau tidak suka, itu hak anda, kepada George Soros sang pialang pemain dunia saham, seorang “hedge fund manager” –yang famous or infamous bergantung sisi pandang anda dari sisi mana–namun yang pasti dia adalah seorang yang mampu membaca emosi, mampu membaca tanda-tanda (signs) dan gejala (symptoms): memahami tentang “reflexivitas”.
George Soros mulai menyusun sebuah teori yang ia namai “teori refleksivitas” (“reflexivity theory”) bahkan sejak ia masih kuliah di London School of Economics di penghujung tahun 1950-an dibimbing oleh seorang filsuf bernama Karl Popper.
Di menit 3:11 video di atas Soros berkata:
Popper berpendapat bahwa kebenaran empiris tidak dapat diketahui dengan kepastian yang absolut, bahkan hukum ilmiah (scientific law) tidak dapat diverifikasi kebenarannya melampaui bayang-bayang keraguan (beyond the shadow of a doubt), semua hanya dapat ditemukan kekeliruannya (difalsiifikasikan, falsified) melalui pengujian, sebuah pengujian yang adil sudah cukup untuk menemukan kekeliruannya akan tetapi tidak ada jumlah contoh konfirmasi yang cukup untuk memverifikasi (kebenarannya), hukum ilmiah selalu bersifat hipotetis dan kebenarannya masih harus diuji; Ideologi yang mengklaim bahwa ia memiliki kebenaran tertinggi membuat klaim yang salah, oleh karena itu mereka dapat diterapkan kepada masyarakat hanya melalui paksaan.
“Popper argued that the empirical truth can’t be known with absolute certainty even scientific laws can’t be verified beyond the shadow of a doubt they can only be falsified by testing one fair test is enough to to falsify but no amount of confirming instances is sufficient to verify; Scientific laws are hypothetical in character and their truth remains subject to testing; Ideologies which claim to be in possession of the ultimate truth are making a false claim, therefore they can be imposed on society only by force”
Teori refleksivitas kemudian ia terapkan dalam membaca sesuatu yang berlangsung dalam perasaan-perasaan, atau emosi-emosi–“sentimen-sentimen”–pasar, sentimen dunia ekonomi-politik (political-economy world ) di pasar-pasar keuangan dan politik dunia.
Dengan kemampuannya dalam membaca tanda-tanda dan gejala-gejala seperti itu ia pernah meraup keuntungan besar yang–terlepas dari perkara etis atau moral–tidak tanggung-tanggung besarnya.
Teori refleksivitas sendiri bukan hanya berkenaan dengan perkara uang atau keuangan, teori reflexivitas adalah sebuah kerangka konseptual yang mencoba menjelaskan hubungan antara berpikir dengan realitas: “The framework itself is not about money it’s about the relationship between thinking and reality” ujarnya.
Setiap symptom (setiap gejala) perlu dibaca, dimengerti, dipahami
Apa yang menyebabkan _symptom_ pada diri seseorang atau pada orang-orang yang jumlahnya banyak adalah “tanda” ( “sign” ) yang “terbaca” oleh seseorang atau oleh orang-orang yang jumlahnya banyak itu.
Reaksi, atau respon manusia tidak bisa lepas dari keadaan apa ( state, atau lebih tepatnya “eigenstate” atau “keadaan/suasana dirinya sendiri”) yang ada pada dirinya, yang “sedang berlangsung”, ketika dia “menemukan atau menemui, atau bertemu, atau dihadapkan dengan tanda” manakala ia mengalami (experiencing) tanda itu.
Manusia akan mengalami rasa kepanasan (gerah) ketika suhu tubuhnya lebih rendah dibanding suhu sekitaran (ambient temperature); Sebaliknya manusia akan merasa kedinginan jika suhu tubuhnya lebih tinggi dibanding suhu sekitarannya (ambient temperature); Ini adalah sekedar ilustrasi bahwa apa yang akan kita rasakan tidak terlepas dari apa yang ada– eigenstate –di dalam diri kita saat itu. Kepanasan dan kedinginan kedua-duanya adalah symptoms (gejala-gejala). Merasa marah atau merasa biasa-biasa saja atau merasa senang, ketika terpapar oleh sesuatu bergantung pada eigenstate pada diri si manusianya itu sendiri.
Manusia tidak pernah berada pada kondisi “blank state” (keadaan atau suasana hati yang kosong seperti kertas tanpa tulisan).
Di sisi lainnya nanti, “mengosongkan suasana diri” justru diperlukan; Berbagai latihan untuk berupaya berada pada “blank eigenstate”–seperti misalnya berlatih meditasi, berlatih khusyuk–justru akan melatih manusia agar menjadi manusia yang “tidak kagetan”, kaget yang membahagiakan dirinya atau kaget yang menyedihkan dirinya, kedua-duanya adalah kondisi kaget-kagetan. Orang yang tidak menyadari ini akan merasa terombang-ambing perasaannya sendiri, bisa menimbulkan perasaan yang berlebihan.
Yang menarik dari perkara tanda dan gejala ini adalah perbedaan sebutannya:
Perbedaan utama antara tanda dan gejala bergantung pada siapa yang mengamati efeknya. Misalnya, ruam di kulit bisa menjadi tanda, gejala, atau keduanya: Jika pasien melihat ruam (tanda), itu bisa juga adalah gejala manakala ia misalnya mengalami rasa gatal-gatal. Jika dokter, perawat, atau siapapun selain pasien melihat ruam pada seseorang , itu adalah tanda dari sesuatu yang membutuhkan diagnosa, misalnya.
Bagi saya yang mengamati si A marah (sebuah efek yang timbul karena sesuatu telah membuat si A marah), maka bagi saya sebagai pengamat– an observer — hal itu secara objektif adalah tanda (sign). Namun bagi si A sendiri hal itu adalah gejala (symptom), ia secara subjektif mengalami hal kemarahan itu. Dan tentu saja dia bisa mengatakan: “Gimana nggak marah coba kalau saya digitu-gituin sama mereka; Coba pikirkan deh, kamu juga pasti marah, kan?” (“Hmmm ….. belum tentu juga sih”, pikir saya)
“Alasan-alasan untuk marah”– reasons to be angry –seringkali bukan karena sesuatu intensitas enerji (dan dianggap sebagai enerji buruk) yang datang dari luar, karena bisa saja itu disebabkan oleh “magnitude” (sesuatu yang terasa oleh diri) terasa sangat intens *olehnya* ; Seseorang penumpang perahu bisa mabuk laut misalnya karena goyangan perahu bagi dia terasa terlalu intens, enerji yang dilimpahkan ke dirinya terlalu tinggi intensitasnya–magnitude-nya bagi dia–sehingga membuatnya “ingin muntah”.
Seseorang bisa saja tersinggung tidak karena hal-hal yang berlebihan datang dari luar menimpa dirinya, tetapi memang karena pada dasarnya orangnya mudah tersinggung, sangat rapuh, (fragile, mudah pecah) dlsb.
Kita tidak pernah akan bisa mengendalikan, mengkontrol, apa-apa yang akan datang ke diri kita dalam hidup kita sehari-hari ini, akan tetapi kita setidaknya dalam prinsipnya, in principle jika kita mengerti suasana hati, eigenstate kita saat itu, kita akan bisa mengkontrol bagaimana reaksi kita, respon kita, terhadap hal yang datang kepada kita itu. Tidak selamanya laut akan tenang namun setidaknya jika badai datang kita tidak usah buru-buru panik sebelum waktunya yang pantas untuk itu.
Belajar mengenal diri sendiri adalah belajar mengenali suasana hati pada suatu waktu, dari waktu ke waktu, dan sepanjang waktu, karena hal itu tidak pernah konstan.
Penulis : Didi Sugandi (Pengamat Sosial, menetap di Yogyakarta)